“RUU PPRT harus memprioritaskan perlindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam posisi lemah dan kurang terlindungi. RUU ini penting untuk menghapus ketimpangan antara pekerja dan pemberi kerja,”
FOKUS BERITA JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) telah berjalan 21 tahun. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) mendukung UU PPRT segera disahkan.
“Kami berkomitmen untuk secepatnya menyelesaikan RUU PPRT karena pembahasannya sudah berlangsung lama. Di sisi lain banyak fakta yang menunjukkan para pekerja rumah tangga, masih sangat minim perlindungan dan rentan menjadi korban kekerasan. Minimnya daya tawar menjadikan pekerjaan ini tergolong sektor kerja yang berisiko tinggi. Negara harus hadir memberikan jaminan atas hak-hak mereka,” ujar Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Habib Syarief Muhammad, Senin (5/5/2025).
Habib mengungkapkan ketimpangan relasi antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja yang selama ini belum mendapat perhatian serius. Ia menegaskan pentingnya RUU PPRT sebagai langkah untuk menghapus ketidaksetaraan tersebut. “RUU PPRT harus memprioritaskan perlindungan bagi pekerja rumah tangga yang selama ini berada dalam posisi lemah dan kurang terlindungi. RUU ini penting untuk menghapus ketimpangan antara pekerja dan pemberi kerja,” katanya.
Legislator asal Jawa Barat itu juga menekankan bahwa dalam RUU PPRT harus dicantumkan secara jelas hak-hak pekerja rumah tangga. Hak-hak tersebut antara lain jaminan kecelakaan kerja, hak atas upah saat sakit, kebebasan beribadah, pekerjaan yang layak, serta perlindungan sosial lainnya. “Negara tidak boleh abai. Hak-hak pekerja rumah tangga harus diakui dan dilindungi sebagaimana warga negara lainnya. Mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak hidup layak dan bermartabat,” tegasnya.
Habib juga mengutip data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang mencatat 25 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dalam periode 2019–2023. Sementara itu, Jala PRT, organisasi yang fokus pada advokasi hak pekerja rumah tangga, mencatat 2.641 kasus sepanjang 2018–2023. Ia menyebut kasus-kasus ini ibarat fenomena gunung es. “Apa yang tampak hanya sebagian kecil dari kenyataan. Masih banyak kasus serupa yang belum dilaporkan karena keterbatasan akses dan ketakutan korban,” ungkapnya.
Habib turut menyinggung salah satu kasus kekerasan yang menimpa pekerja rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jawa Barat, yang disekap dan tidak diberi makan oleh pemberi kerja. “Peristiwa keji seperti ini harus dicegah dan tidak boleh terulang. Pekerja rumah tangga juga berhak hidup aman, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun,” tegasnya.
Penulis : Eky